Proses
modernisasi, seringkali mengagungkan nilai-nilai yang bersifat materi dan anti rohani,
sehingga mengabaikan unsur-unsur spiritualitas. Benturan antara nilai-nilai
materi dan unsur-unsur rohani dalam alam modern, seperti halnya benturan antara
persoalan tradisi dan modernitas.Benturan kedua nilai tersebut, secra tidak
langsung memberi gambaran bagi sikap hidup suatu komunitas pada zaman tertentu.
Dari sinilah kemudian makna modern bisa
digunakan untuk memberi karakter suatu zaman-zaman modern misalnya dan bisa
juga untuk memberi ciri karakter manusianya-kelompok modernis misalnya-, dan
hal itu bisa berlangsung dalam satu masa, bisa juga tidak berlangsung pada masa
tertentu.
Menurut Nurcholish Madjid ketika Islam
baru lahir, ia adalah agama yang terlalu modern untuk zamannya sehingga
substansinya tidak dapat ditangkap oleh kebudayaan masyarakat zamannya.
Sementara itu di Indonesia sekarang ini meskipun sudah berada dalam abad modern
tetapi kehidupan masyarakat masih ada yang terbelakang, seperti yang terdapat
di pedalaman Papua, masyarakat tradisional dikampung-kampung.
A. Ciri-ciri Zaman Modern
Kata modern bisa digunakan untuk memberi
predikat kepada orang, waktu, seni, benda dan pemikiran, kebudayaan dan tingkah
laku. Gagasan modern sering dipahami sebagai gagasan pembaruan dan dipertentangkan
dengan gagasan tradisional.
Sebenarnya
zaman modern ditandai dengan dua hal sebagai cirinya, yaitu :
(1)
penggunaan teknologi dalam berbagai aspek kehidupan manusia, dan
(2) berkembangnya ilmu pengetahuan sebagai wujud dari kemajuan intelektual manusia.
Manusia modern idealnya adalah manusia yang berpikir logis dan mampu menggunakan berbagai teknologi untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Dengan kecerdasan dan bantuan teknologi, manusia modern seharusnya lebih bijak dan arif, tetapi dalam kenyataannya banyak manusia yang kualitas kemanusiaannya lebih rendah dibanding kemajuan berpikir dan teknologi yang dicapainya. Akibat dari ketidak seimbangan itu kemudian menimbulkan gangguan kejiwaan. Bahkan akibat yang lebih fatal, penggunaan alat transportasi dan alat komunikasi modern menyebabkan manusia hidup dalam pengaruh global dan dikendalikan oleh arus informasi global, padahal kesiapan mental manusia secara individu dan secara etnis tidaklah sama.
(2) berkembangnya ilmu pengetahuan sebagai wujud dari kemajuan intelektual manusia.
Manusia modern idealnya adalah manusia yang berpikir logis dan mampu menggunakan berbagai teknologi untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Dengan kecerdasan dan bantuan teknologi, manusia modern seharusnya lebih bijak dan arif, tetapi dalam kenyataannya banyak manusia yang kualitas kemanusiaannya lebih rendah dibanding kemajuan berpikir dan teknologi yang dicapainya. Akibat dari ketidak seimbangan itu kemudian menimbulkan gangguan kejiwaan. Bahkan akibat yang lebih fatal, penggunaan alat transportasi dan alat komunikasi modern menyebabkan manusia hidup dalam pengaruh global dan dikendalikan oleh arus informasi global, padahal kesiapan mental manusia secara individu dan secara etnis tidaklah sama.
Akibat ketidak seimbangan itu dapat
dijumpai dalam realitas kehidupan, di mana banyak manusia yang sudah hidup
dalam lingkup peradaban modern dengan menggunakan berbagai teknologi,bahkan
teknologi tinggi sebagai fasilitas hidupnya, tetapi dalam menempuh kehidupan,
terjadi distorsi-distorsi nilai kemanusiaan, terjadi dehumanisasi yang
disebabkan oleh kapasitas intelektual, mental dan jiwa yang tidak siap untuk
mengarungi samudera atau hutan peradaban modern. Mobilnya sudah memakai Mercy,
tetapi mentalnya masih becak, alat komunikasinya sudah menggunakan telepon
genggam, tetapi komunikasinya masih memakai bahasa isyarat tangan, menu makan
yang dipilih pizza dan ayam Kentucky, tetapi wawasan dan gizinya masih kelas
oncom. Kekayaan, jabatan dan senjata yang dimilikinya melambangkan kemajuan,
tetapi jiwanya kosong dan rapuh. Semua simbol manusia modern dipakai, tetapi
substansinya, yakni berpikir logis dan penguasaan teknologi maju masih jauh
panggang dari api.
Elisabeth Lukas, seorang logoteraphis
terkenal dengan sangat tepat merumuskan “hasil’ dari modernisasi di dunia barat
yang substansinya dua hal, yaitu melepaskan semua belenggu yang menghambat dan
meraih kebebasan (freedom) dalam hampir semua bidang kehidupan, antara lain: :
1.
Tradisi orang tua menjodohkan anaknya atas dasar pertimbangan sosial ekonomi dan
agama) telah berhasil dihilangkan. Sebagai gantinya anak-anak diberi kebebasan
untuk menentukan sendiri jodohnya atas dasar pertimbangan dan keinginan anak
itu sendiri.
2.
Kaum wanita berhasil mendobrak kungkungan tradisional sebagai ibu rumah tangga semata-mata,
dan sebagai gantinya wanita boleh mengembangkan karir professional kedudukannya
sama dengan laki-laki, hingga wanitapun memiliki kebebasan yang dilindungi
hukum untuk keluar rumah, sama dengan suaminya.
3.
Tradisi kesetiaan kepada keluarga dalam hal hubungan seks berhasil diganti
dengan kebebasan seks sepanjang tidak menggangu orang lain, hingga fungsi
hubungan seks ssebagai ungkapan cinta kasih, berganti fungsi menjadi tuntutan
memperoleh puncak kenikmatan.
4. Tradisi hubungan sakral anak dengan orang tua diganti denga pola pendidikan menanamkan kemandirian kepada anak, yang memberikan kepada anak di atas 18 tahun perlindungan secara hukum untuk terbebas dari kekuasaan tradisional keluarga. Hal ini memberikan ruang kepada orang muda untuk masuk kedalam lingkungan nilai serba bolehan (permissiveness).
5. Aturan-aturan seni tradisional yang memliki simbol-simbol keluhuran nilai, digantikan oleh seni modern yang justru ‘sulit dipahami”.
4. Tradisi hubungan sakral anak dengan orang tua diganti denga pola pendidikan menanamkan kemandirian kepada anak, yang memberikan kepada anak di atas 18 tahun perlindungan secara hukum untuk terbebas dari kekuasaan tradisional keluarga. Hal ini memberikan ruang kepada orang muda untuk masuk kedalam lingkungan nilai serba bolehan (permissiveness).
5. Aturan-aturan seni tradisional yang memliki simbol-simbol keluhuran nilai, digantikan oleh seni modern yang justru ‘sulit dipahami”.
6.
Norma-norma agama sudah diganti dengan norma-norma “rational dan efesien”
sehingga agama sudah kehilangan fungsinya sebagai pedoman hidup dan sumber
ketenangan.
B. Kerangkeng Manusia Modern
B. Kerangkeng Manusia Modern
Ketidak berdayaan manusia bermain
dalam pentas peradaban modern yang terus melaju tanpa dapat dihentikan itu, menyebabkan
sebagian besar “manusia modern” terperangkap dalam situasi yang menurut istilah
Psikologi Humanis terkenal. Rollo May sebagai “manusia dalam kerangkeng”, suatu
istilah yang menggambarkan salah satu derita manusia modern.
Manusia
modern seperti itu sebenarnya manusia yang sudah kehilangan makna, manusia
kosong. The Hollow Man. Ia resah tiap kali harus mengambil keputusan, ia tidak
tahu apa yang diinginkan, dan tidak mampu memilih jalan hidup yang diinginkan.
Para sosiolog menyebutnya sebagai gejala keterasingan, alienasi, yang
disebabkan oleh
(a)
perubahan sosial yang berlangsung sangat cepat,
(b)
hubungan hangat antar manusia sudah berubah menjadi hubungan yang gersang,
(c)
lembaga tradisional sudah berubah menjadi lembaga rasional,
(d)
masyarakat yang homogen sudah berubah menjadi heterogen, dan
(e)
stabilitas sosial berubah menjadi mobilitas sosial.
Situasi psikologis dalam sistem sosial
yang mengkungkung manusia modern itu bagaikan kerangkeng yang sangat kuat, yang
membuat penghuni di dalamnya tidak lagi mampu berpikir untuk mencari jalan
keluar dari kerangkeng itu. Orang merasa tidak berdaya untuk melakukan upaya
perubahan, kekuasaan sistem politik terasa bagaikan hantu yang susah diikuti
standar kerjanya, ekonomi dirasakan tercengkeram oleh segelintir orang yang
bisa amat leluasa mempermainkannya sekehendak hati mereka, bukan kehendaknya,
dan nilai-nilai luhur kebudayaan sudah menjadi komoditi pasar yang fluktuasinya
susah diduga.
Bagaikan orang yang telah lama terkurung dalam kerangkeng, manusia modern menderita frustasi dan berada dalam ketidakberdayaan, powerlessness. Ia tidak mampu lagi merencanakan masa depan, ia pasrah kepada nasib karena merasa tidak berdaya. Rakyat “acuh tak acuh” terhadap perkembangan politik, pegawai negeri merasa hanya kerja rutin, dan hanya mengerjakan yang diperintah dan diawasi atasannya.
Bagaikan orang yang telah lama terkurung dalam kerangkeng, manusia modern menderita frustasi dan berada dalam ketidakberdayaan, powerlessness. Ia tidak mampu lagi merencanakan masa depan, ia pasrah kepada nasib karena merasa tidak berdaya. Rakyat “acuh tak acuh” terhadap perkembangan politik, pegawai negeri merasa hanya kerja rutin, dan hanya mengerjakan yang diperintah dan diawasi atasannya.
Kerangkeng
lain yang tidak kalah kuatnya adalah kehidupan sosial.
Manusia modern dikerangkeng oleh
tuntutan sosial. Mereka merasa sangat terikat untuk mengikuti skenario sosial
yang menentukan berbagai kriteria dan mengatur berbagai keharusan dalam
kehidupan sosial. Seorang istri pejabat merasa harus menyesuaikan diri dengan
jabatan suaminya dalam hal pakaian, kendaraan asesoris, bahkan sampai pada bagaimana
tersenyum dan tertawa. Seorang pejabat juga merasa harus mengganti rumahnya,
kendaraannya, pakaiannya, kawan-kawan pergaulannya, minumannya, rokoknya dan
kebiasaan-kebiasaan lainnya agar sesuai dengan skenario sosial tentang pejabat.
Kaum wanita juga dibuat sibuk untuk mengganti kosmetiknya, mode pakaiannya,
dandanannya, meja makan dan piring di rumahnya untuk memenuhi trend yang sedang
berlaku.
Manusia modern begitu sibuk dan
bekerja keras melakukan penyesuaian diri dengan trend modern. Ia merasa sedang
berjuang keras untuk memenuhi keinginannya, padahal yang sebenarnya mereka
diperbudak oleh keinginan orang lain, oleh keinginan sosial. Ia sebenarnya
sedang mengejar apa yang diharapkan oleh orang lain agar ia mengejarnya. Ia
selalu mengukur perilaku dirinya denga apa yang ia duga sebagai harapan orang
lain. Ia boleh jadi memperoleh kepuasan, tetapi kepuasan itu sebenarnya
kepuasan sekejap, yakni kepuasan dalam mempertontonkan perilaku yang dipesan
oleh orang lain. Ia tidak ubahnya pemain sandiwara di atas panggung yang harus
tampil prima sesuai dengan perintah sutradara, meskipun boleh jadi ia sedang
kurang sehat.
Begitulah manusia modern, ia
melakukan sesuatu bukan karena ingin melakukannya, tetapi karena merasa orang
lain menginginkan agar ia melakukannya. Ia sibuk meladeni ke inginan orang
lain, sampai ia lupa kehendak sendiri. Ia memiliki ratusan topeng sosial yang
siap dipakai dalam berbagai even sesuai dengan skenario sosial, dan karena
terlalu seringnya menggunakan topeng sampai ia lupa wajah asli miliknya.
Manusia modern adalah manusia yang
sudah kehilangan jati dirinya, perilakunya sudah seperti perilaku robot, tanpa
perasaan. Senyumnya tidak lagi seindah senyuman fitri seorang bayi, tetapi
lebih sebagai make up. Tawanya tidak lagi spontan seperti tawa ceria
kanak-kanak dan remaja, tetapi tawa yang diatur sebagai bedak untuk memoles
kepribadiannya. Tangisannya tidak lagi merupakan rintihan jiwa, tetapi lebih
merupakan topeng untuk menutupi borok-borok akhlaknya, dan kesemuanya sudah
diprogramkan kapan harus tertawa dan kapan harus menangis.
Jika
secara keseluruhan manusia modern tidak lagi mampu menangkap dan memahami
kebenaran-kebenaran agama yang universal dan abadi maka pudarnya visi
intelektual semacam ini menurut Seyyed Hossein Nasr sebagian besar berkaitan
dengan tidak berartinya lagi keberadaan sebagian umat manusia. Keadaan ini,
yakni kepasrahan menerima dirinya dan kekeliruan memandang benda-benda, yang
lazim disebut “keadaan genting manusia modern yang eksistensial” adalah tipe
manusia yang tidak mampu mempertajam daya kritisnya terhadap dirinya dan dengan
demikian juga tidak lagi kritis memandang kebenaran-kebenaran obyektif yang
terkandung dalam ajaran dari agama.
nice post.....kunjungan malam
BalasHapusTerima kasih sahabat atas berbagi pengetahuannya ini
BalasHapus