Jumat, 23 Desember 2011

PROBLEM KEJIWAAN MANUSIA MODERN


 
Proses modernisasi, seringkali mengagungkan nilai-nilai yang bersifat materi dan anti rohani, sehingga mengabaikan unsur-unsur spiritualitas. Benturan antara nilai-nilai materi dan unsur-unsur rohani dalam alam modern, seperti halnya benturan antara persoalan tradisi dan modernitas.Benturan kedua nilai tersebut, secra tidak langsung memberi gambaran bagi sikap hidup suatu komunitas pada zaman tertentu.

       Dari sinilah kemudian makna modern bisa digunakan untuk memberi karakter suatu zaman-zaman modern misalnya dan bisa juga untuk memberi ciri karakter manusianya-kelompok modernis misalnya-, dan hal itu bisa berlangsung dalam satu masa, bisa juga tidak berlangsung pada masa tertentu.
        Menurut Nurcholish Madjid ketika Islam baru lahir, ia adalah agama yang terlalu modern untuk zamannya sehingga substansinya tidak dapat ditangkap oleh kebudayaan masyarakat zamannya. Sementara itu di Indonesia sekarang ini meskipun sudah berada dalam abad modern tetapi kehidupan masyarakat masih ada yang terbelakang, seperti yang terdapat di pedalaman Papua, masyarakat tradisional dikampung-kampung.

A. Ciri-ciri Zaman Modern
       Kata modern bisa digunakan untuk memberi predikat kepada orang, waktu, seni, benda dan pemikiran, kebudayaan dan tingkah laku. Gagasan modern sering dipahami sebagai gagasan pembaruan dan dipertentangkan dengan gagasan tradisional.
Sebenarnya zaman modern ditandai dengan dua hal sebagai cirinya, yaitu :
(1) penggunaan teknologi dalam berbagai aspek kehidupan manusia, dan

(2) berkembangnya ilmu pengetahuan sebagai wujud dari kemajuan intelektual manusia.

     Manusia modern idealnya adalah manusia yang berpikir logis dan mampu menggunakan berbagai teknologi untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Dengan kecerdasan dan bantuan teknologi, manusia modern seharusnya lebih bijak dan arif, tetapi dalam kenyataannya banyak manusia yang kualitas kemanusiaannya lebih rendah dibanding kemajuan berpikir dan teknologi yang dicapainya. Akibat dari ketidak seimbangan itu kemudian menimbulkan gangguan kejiwaan. Bahkan akibat yang lebih fatal, penggunaan alat transportasi dan alat komunikasi modern menyebabkan manusia hidup dalam pengaruh global dan dikendalikan oleh arus informasi global, padahal kesiapan mental manusia secara individu dan secara etnis tidaklah sama.
        Akibat ketidak seimbangan itu dapat dijumpai dalam realitas kehidupan, di mana banyak manusia yang sudah hidup dalam lingkup peradaban modern dengan menggunakan berbagai teknologi,bahkan teknologi tinggi sebagai fasilitas hidupnya, tetapi dalam menempuh kehidupan, terjadi distorsi-distorsi nilai kemanusiaan, terjadi dehumanisasi yang disebabkan oleh kapasitas intelektual, mental dan jiwa yang tidak siap untuk mengarungi samudera atau hutan peradaban modern. Mobilnya sudah memakai Mercy, tetapi mentalnya masih becak, alat komunikasinya sudah menggunakan telepon genggam, tetapi komunikasinya masih memakai bahasa isyarat tangan, menu makan yang dipilih pizza dan ayam Kentucky, tetapi wawasan dan gizinya masih kelas oncom. Kekayaan, jabatan dan senjata yang dimilikinya melambangkan kemajuan, tetapi jiwanya kosong dan rapuh. Semua simbol manusia modern dipakai, tetapi substansinya, yakni berpikir logis dan penguasaan teknologi maju masih jauh panggang dari api.
       Elisabeth Lukas, seorang logoteraphis terkenal dengan sangat tepat merumuskan “hasil’ dari modernisasi di dunia barat yang substansinya dua hal, yaitu melepaskan semua belenggu yang menghambat dan meraih kebebasan (freedom) dalam hampir semua bidang kehidupan, antara lain: :
1. Tradisi orang tua menjodohkan anaknya atas dasar pertimbangan sosial ekonomi dan agama) telah berhasil dihilangkan. Sebagai gantinya anak-anak diberi kebebasan untuk menentukan sendiri jodohnya atas dasar pertimbangan dan keinginan anak itu sendiri.

2. Kaum wanita berhasil mendobrak kungkungan tradisional sebagai ibu rumah tangga semata-mata, dan sebagai gantinya wanita boleh mengembangkan karir professional kedudukannya sama dengan laki-laki, hingga wanitapun memiliki kebebasan yang dilindungi hukum untuk keluar rumah, sama dengan suaminya.


3. Tradisi kesetiaan kepada keluarga dalam hal hubungan seks berhasil diganti dengan kebebasan seks sepanjang tidak menggangu orang lain, hingga fungsi hubungan seks ssebagai ungkapan cinta kasih, berganti fungsi menjadi tuntutan memperoleh puncak kenikmatan.

4. Tradisi hubungan sakral anak dengan orang tua diganti denga pola pendidikan menanamkan kemandirian kepada anak, yang memberikan kepada anak di atas 18 tahun perlindungan secara hukum untuk terbebas dari kekuasaan tradisional keluarga. Hal ini memberikan ruang kepada orang muda untuk masuk kedalam lingkungan nilai serba bolehan (permissiveness).

5. Aturan-aturan seni tradisional yang memliki simbol-simbol keluhuran nilai, digantikan oleh seni modern yang justru ‘sulit dipahami”.

6. Norma-norma agama sudah diganti dengan norma-norma “rational dan efesien” sehingga agama sudah kehilangan fungsinya sebagai pedoman hidup dan sumber ketenangan.

B. Kerangkeng Manusia Modern
         Ketidak berdayaan manusia bermain dalam pentas peradaban modern yang terus melaju tanpa dapat dihentikan itu, menyebabkan sebagian besar “manusia modern” terperangkap dalam situasi yang menurut istilah Psikologi Humanis terkenal. Rollo May sebagai “manusia dalam kerangkeng”, suatu istilah yang menggambarkan salah satu derita manusia modern.
Manusia modern seperti itu sebenarnya manusia yang sudah kehilangan makna, manusia kosong. The Hollow Man. Ia resah tiap kali harus mengambil keputusan, ia tidak tahu apa yang diinginkan, dan tidak mampu memilih jalan hidup yang diinginkan. Para sosiolog menyebutnya sebagai gejala keterasingan, alienasi, yang disebabkan oleh
(a) perubahan sosial yang berlangsung sangat cepat,
(b) hubungan hangat antar manusia sudah berubah menjadi hubungan yang gersang,
(c) lembaga tradisional sudah berubah menjadi lembaga rasional,
(d) masyarakat yang homogen sudah berubah menjadi heterogen, dan
(e) stabilitas sosial berubah menjadi mobilitas sosial.


         Situasi psikologis dalam sistem sosial yang mengkungkung manusia modern itu bagaikan kerangkeng yang sangat kuat, yang membuat penghuni di dalamnya tidak lagi mampu berpikir untuk mencari jalan keluar dari kerangkeng itu. Orang merasa tidak berdaya untuk melakukan upaya perubahan, kekuasaan sistem politik terasa bagaikan hantu yang susah diikuti standar kerjanya, ekonomi dirasakan tercengkeram oleh segelintir orang yang bisa amat leluasa mempermainkannya sekehendak hati mereka, bukan kehendaknya, dan nilai-nilai luhur kebudayaan sudah menjadi komoditi pasar yang fluktuasinya susah diduga.
         Bagaikan orang yang telah lama terkurung dalam kerangkeng, manusia modern menderita frustasi dan berada dalam ketidakberdayaan, powerlessness. Ia tidak mampu lagi merencanakan masa depan, ia pasrah kepada nasib karena merasa tidak berdaya. Rakyat “acuh tak acuh” terhadap perkembangan politik, pegawai negeri merasa hanya kerja rutin, dan hanya mengerjakan yang diperintah dan diawasi atasannya.
Kerangkeng lain yang tidak kalah kuatnya adalah kehidupan sosial.
       Manusia modern dikerangkeng oleh tuntutan sosial. Mereka merasa sangat terikat untuk mengikuti skenario sosial yang menentukan berbagai kriteria dan mengatur berbagai keharusan dalam kehidupan sosial. Seorang istri pejabat merasa harus menyesuaikan diri dengan jabatan suaminya dalam hal pakaian, kendaraan asesoris, bahkan sampai pada bagaimana tersenyum dan tertawa. Seorang pejabat juga merasa harus mengganti rumahnya, kendaraannya, pakaiannya, kawan-kawan pergaulannya, minumannya, rokoknya dan kebiasaan-kebiasaan lainnya agar sesuai dengan skenario sosial tentang pejabat. Kaum wanita juga dibuat sibuk untuk mengganti kosmetiknya, mode pakaiannya, dandanannya, meja makan dan piring di rumahnya untuk memenuhi trend yang sedang berlaku.
          Manusia modern begitu sibuk dan bekerja keras melakukan penyesuaian diri dengan trend modern. Ia merasa sedang berjuang keras untuk memenuhi keinginannya, padahal yang sebenarnya mereka diperbudak oleh keinginan orang lain, oleh keinginan sosial. Ia sebenarnya sedang mengejar apa yang diharapkan oleh orang lain agar ia mengejarnya. Ia selalu mengukur perilaku dirinya denga apa yang ia duga sebagai harapan orang lain. Ia boleh jadi memperoleh kepuasan, tetapi kepuasan itu sebenarnya kepuasan sekejap, yakni kepuasan dalam mempertontonkan perilaku yang dipesan oleh orang lain. Ia tidak ubahnya pemain sandiwara di atas panggung yang harus tampil prima sesuai dengan perintah sutradara, meskipun boleh jadi ia sedang kurang sehat.
          Begitulah manusia modern, ia melakukan sesuatu bukan karena ingin melakukannya, tetapi karena merasa orang lain menginginkan agar ia melakukannya. Ia sibuk meladeni ke inginan orang lain, sampai ia lupa kehendak sendiri. Ia memiliki ratusan topeng sosial yang siap dipakai dalam berbagai even sesuai dengan skenario sosial, dan karena terlalu seringnya menggunakan topeng sampai ia lupa wajah asli miliknya.
            Manusia modern adalah manusia yang sudah kehilangan jati dirinya, perilakunya sudah seperti perilaku robot, tanpa perasaan. Senyumnya tidak lagi seindah senyuman fitri seorang bayi, tetapi lebih sebagai make up. Tawanya tidak lagi spontan seperti tawa ceria kanak-kanak dan remaja, tetapi tawa yang diatur sebagai bedak untuk memoles kepribadiannya. Tangisannya tidak lagi merupakan rintihan jiwa, tetapi lebih merupakan topeng untuk menutupi borok-borok akhlaknya, dan kesemuanya sudah diprogramkan kapan harus tertawa dan kapan harus menangis.
          Jika secara keseluruhan manusia modern tidak lagi mampu menangkap dan memahami kebenaran-kebenaran agama yang universal dan abadi maka pudarnya visi intelektual semacam ini menurut Seyyed Hossein Nasr sebagian besar berkaitan dengan tidak berartinya lagi keberadaan sebagian umat manusia. Keadaan ini, yakni kepasrahan menerima dirinya dan kekeliruan memandang benda-benda, yang lazim disebut “keadaan genting manusia modern yang eksistensial” adalah tipe manusia yang tidak mampu mempertajam daya kritisnya terhadap dirinya dan dengan demikian juga tidak lagi kritis memandang kebenaran-kebenaran obyektif yang terkandung dalam ajaran dari agama.

2 komentar: